Minggu, 26 Juli 2009

fiqh prioritas yusuf qardhawi

Nama : Haiqal Basyir
Rangkuman Yusuf Qardhawi

Prioritas ilmu atas amal
Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan pemberi petunjuk dan arah amal yang akan dilakukan, dengan ilmu pengetahuan dapat menyebabkan rasa takut kepada Allah dan mendorong manusia kepada amal perbuatan. Sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia, “ Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.”
Seseorang tidak boleh memberi fatwa kepada manusia kecuali dia benar-benar seorang yang ahli dalam bidangnya dan memahami ajaran agamanya, jika tidak ia akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Fatwa harus diberikan oleh orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, wawasan yang luas, wara, yang menjaga diri dari setiap maksiat, tidak menuruti hawa nafsunya senduiri atau hawa orang lain.
Ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan persoalannya jelas, sedangkan ilmu besar adalah ilmu yang pelik-pelik, ada pula yang mengatakan bahwa rabbani ialah orang yang mengajarkan ilmu-ilmu yang parsial sebelum ilmu-ilmu yang universal atau ilmu-ilmu cabang sebelum ilmu-ilmu pokok, ilmu-ilmu pengantar sebelum ilmu-ilmu yang inti.
Menarik simpati hati otang yang hampir dekat dengan Islam dan tidak melakukan da’wah dengan cara keras dan kasar pada awal mula kegiatan da’wah itu, begitu pula hendaknya kecaman terhadap orang yang suka melakukan kemaksiatan, kecaman itu hendaknya dilakukan secara bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang lapang, pada akhirnya dia akan bertambah baik sedikit demi sedikit.


Prioritas pemahaman atas hafalan
Fiqh merupakan sesuatu yang lebih dalam dan lebih spesifik dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Sesungguhnya fiqh itu mencakup pemahaman dan juga pemahaman yang mendalam.
Petunjuk dan ilmu pengetahuan, laksana air hujan yang menghidupkan tanah yang mati, bagaikan ilmu agama yang menghidupkan tanah yang mati, bagaikan ilmu agama yang menghidupkan hati yang telah mati. Orang yang menerima ajaran agama itu bermacam-macam seperti beraneka ragamnya tanah yang menerima air hujan. Tingkatan yang paling tinggi adalah orang yang memahami ilmu pengetahuan, memanfaatkannya kemudian mengajarkannya. Ia bagaikan tanah yang subur dan bersih, yang airnya dapat diminum serta menumbuhkan berbagai macam tanaman di atasnya. Tingkatan yang berada di bawahnya adalah orang yang mempunyai hati yang dapat menyimpan, tetapi dia tidak mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam pada akal pikiran mereka, sehingga dia dapat membuat kesimpulan yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Orang-orang yang hafal dan bila ada orang yang datang memerlukan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia dapat memberikan manfaat hafalan itu kepadanya. Orang-orang seperti inilan yang dapat dimanfaatkan ilmu pengetahuan mereka. Bahwa manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah dan Rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal. Disinilah letak kelebihan orang yang paham atas orang yang menghafal dan letak kelebihan fuqaha atas para huffazh. Dalam kurun yang terbaik bagi manusia yaitu tiga abad pertama di dalam Islam, kedudukan dan kepeloporan berada di tangan para faqih, sedangkan pada masa-masa kemunduran, kedudukan dan kepeloporan itu ada para hafizh.
Sesungguhnya hafalan hanyalah sebagai gudang data dan ilmu pengetahuan untuk kemudian dimanfaatkan. Menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai yang lainnya. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ialah perhatian merekan kepada hafalan lebih tinggi daripada pemahaman dan memberikan hak dan kemampuan yang lebih besar kepadanya.



Prioritas maksud dan tujuan atas penampilan luar
Syariah memiliki berbagai tujuan yang terkandung pada setiap hal yang disyariahkan olehnya, baik berupa perintah maupun larangan ataupun berupa hokum yang mubah. Agama ini tidak mensyariahkan sesuatu dengan sewenang-wenang, tetapi dia dalam syariah yang dibuatnya terkandung hikmah yang sesuai dengan kesempurnaan Allah swt, ilmu-Nya, rahmat-Nya dan kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya. Di antara nama-Nya yang mulia ialah “maha mengetahui dan maha bijaksana”. Allah swt maha bijaksana dengan apa yang disyariahkan dan Dia perintahkan.
Kekeliruan yang seringkali dilakukan oleh orang-orang yang menggeluti ilmu agama ini ialah bahwasanya mereka hanya mengambang di permukaan dan tidak turun menyelam ke dasarnya, karena mereka tidak memiliki keahlian dalam berenang dan menyelam kedasarnya untuk mengambil mutiara dan batu mulianya. Mereka hanya disibukkan dengan hal-hal yang ada dipermukaan, sehingga tidak sempat mencari rahasia dan tujuan yang sebenarnya. Mereka dilalaikan oleh perkara-perkara cabang saja dan bukan perkara-perkara yang utama. Mereka menampilkan agama Allah dan hokum-hukum syariahnya atas hamba-hamba-Nya dalam bentuk yang bermacam-macam dan tidak menampilkan dalam bentuknya yang universal. Bentuk-bentuk itu tidak dikaitkan dengan satu sebab yang menyatukannya, sehingga syariah agama Allah hanya tampak seperti yang diucapkan oleh lidah mereka dan yang ditulis oleh pena mereka. Syariah seakan-akan mampu mewujudkan kemaslahatan bagi makhluk Allah, padahal kegagalah itu sebenarnya bukan pada syariah tetapi pada pemahaman mereka yang memutuskan keterkaitan antara sebagian hokum dengan sebagian yang lain.
Mereka tidak peduli bila tindakan mereka memisahkan antara hal-hal yang sama atau menyamakan hal-hal yang sebetulnya berbeda, padahal itu sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh syariah. Seringkali penyimpangan pada hal-hal yang lahiriah seperti ini mempersempit apa yang sebenarnya telah diluaskan oleh Allah mempersulit hal-hal yang dipermudah oleh syariah stagnasi persoalan yang sepatutnya dapat dikembangkan, serta mengikat hal-hal yang seharusnya dapat diperbaharui dan kembangkan.



Prioritas ijtihad atas taqlid
Menurut para ulama salaf umat ini, bukan sekadar pengetahuan tentang hokum walaupun diperoleh dari hasil taqlid kepada orang lain atau mengutip perkataannya dengan tidak memiliku hujjah yang memuaskan. Dengan kata lain, dia mengetahui kebenaran melalui orang lain dan mengikuti pendapat orang banyak yang tidak berdalil. Dan ilmu yang independent yang disertai dengan hujjah dan tidak perduli apakah ilmu ini disepakati oleh Zaid atau Amr. Ilmu ini tetap berjalan bersama dengan dalilnya ke mana pun ia pergi. Dia berputar bersama kebenaran yang memuaskan di mana pun berada.
Ibn al-Qayyim mengemukakan hujjah berkenaan dengan larangan dan celaan melakukan taqlid berdasarkan firman Allah swt :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…”(al-Isra :36).
Dia berkata, “Taqlid itu bukanlah pengetahuan yang disepakati oleh ahli ilmu pengetahuan itu.” Dalam I’lam al-Muwaqqi’in ia menyebutkan dari delapan puluh macam taqlid yang tidak benar dan penolakannya terhadap syubhat yang dilakukan oleh para pelakunya.
Imam syafi’i r.a sebelum pindah dan menetap di mesir dia telah mempunyai mazhab yang dikenal dengan “qaul qadim” (pendapat lama), kemudian setelah dia menetap di mesir mempunyai mazhab baru yang dikenal dengan “qaul jadid” (pendapat baru). Hal ini terjadi karena dia baru melihat apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya dan dia baru mendengar apa yang belum dia dengar sebelum itu. Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa dalam satu masalah dia mengeluarkan pandangan yang berbeda-beda. Hal ini tidak lain karena sesungguhnya fatwanya dikeluarkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

Prioritas studi dan perencanaan pada urusan dunia
Semua pekerjaan yang baik mesti didahului dengan studi kelayakan terlebih dahulu dan harus dipastikan menghasilkan sesuatu yang memuaskan sebelum pekerjaan itu dimulai. Oleh karena itu, mesti ada perencanaan sebelum melakukannya dan harus diperhitungkan secara matematis dan dilakukan berbagai penelitian sebelum pekerjaan itu dilakukan.
Penelitian, perencanaan, dan studi kelayakan sebelum kerja dilaksanakan merupakan etos kerja yang telah ada pada Islam. Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali melakukan perhitungan secara statistik terhadap orang-orang yang beriman kepadanya setelah dia berhijrah ke Madinah al-Munawwarah. Dan kesan dari perencanaan itu begitu terasa pada perjalanan hidup beliau dalam berbagai bentuknya
Seharusnya orang yang paling dahulu melakuakn perencanaan hari esok mereka ialah para aktivis gerakan Islam sehingga mereka tidak membiarkan semua urusan mereka berjalan tanpa perencanaan, tanpa memanfaatkan pengalaman di masa yang lalu tanpa mencermati realitas yang terjadi pada hari ini, tanpa menimbang benar dan salahnya ijtihad yang pernah dilakukan tanpa menilai untung-ruginya perjalanan umat kemarin dan hari ini tanpa memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kemampuan dan fasilitas yang dimiliki oleh umat, baik yang berbentuk material maupun spiritual, yang tampak dan yang tidak tampak yang produkti dan yang tidak produktif. Perencanaan yang mereka buat itu mesti memperhatikan sumber kekuatan dan titik-titik kelemahan yang dimiliki oleh umat Islam.

Prioritas dalam pendapat-pendapat fiqh
Para ulama sepakat bahwa sesuatu keputusan yang ditetapkan melalui ijtihad tidak sama dengan ketetapan yang berasal dari nash dan apa yang telah ditetapkan oleh nash kemudian didukung oleh ijma yang meyakinkan tidak sama dengan apa yang ditetapkan oleh nash tetapi masih mengandung perselisihan pendapat. Perbedaan pendapat yang terjadi menunjukkan bahwa ia adalah masalah ijtihad. Sedangkan dalam masalah ijtihadiyah, tidak boleh terjadi saling mengingkari antara ulama yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi sebagian ulama memiliki peluang untuk mendiskusikannya dengan sebagian yang lain dalam suasana saling menghormati. Selain itu, apa yang telah ditetapkan oleh nash juga banyak berbeda dari segi apakah nash itu sifatnya qath’i (definitif) atau hanya zhanni. Masalah-masalah yang qath’i dan zhanni berkaitan dengan tetap.
Ketetapan yang bersifat zhanni ini khusus berkaitan degan sunnah yang tidak mutawatir dan sunnah mutawatir ialah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang yang lain dari awal mata rantai periwayatan hingga akhirnya sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk melakukan kebohongan sedangkan sunnah Ahad tidak seperti itu. Kebanyakan pemahaman manusia tunduk kepada akal pikiran manusia, kondisi dan kecenderungan psikologis dan intelektualnya. Oleh sebab itu, orang yang keras akan memahami nash dengan pemahaman yang berbeda dengan orang yang biasa saja. Oleh karena itu dalam warisan pemikiran Islam, kita mengenal kekerasan (ketaatan) Ibn Umar dan keringan (kemudahan) Ibn Abbas. Orang yang mempunyai wawasan yang luas akan berbeda sama sekali pandangannya dengan orang yang berwawasan sempit. Disamping itu, maksud yang terkandung di dalam nash ada yang dipahami tidak seperti yang tampak dari segi lahiriahnya secara harfiah, di mana segi lahiriahnya secara harfiyah, di mana segi lahiriahnya ini seringkali malah stagnan.
Seluruh al-Quran tidak diragukan lagi bahwa ketetapannya bersifat pasti, akan tetapi kebanyakan ayat-ayatnya dalam masalah yang kecil (juz’iyyat) penunjukkan bersifat zhanni dan inilah yang menyebabkan para fuqaha berbeda pendapat dalam mengambil suatu kesimpulan hukum.

Memprioritaskan persoalan yang ringan dan mudah atas persoalan yang berat dan sulit
Berbagai nash yang ada di dalam al-Quran dan sunnah Nabi saw menunjukkan bahwa yang mudah dan ringan itu lebih dicintai oleh Allah dan rasul-Nya.
Allah swt berfirman : “...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(al-Baqarah : 185) dan Allah juga berfirman :”Allah hendak memberikan keringan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(an-Nisa : 28)
Nabi saw bersabda, “ Sesungguhnya Allah menyukai bila keringanan yang diberikan oleh-Nya dilaksanakan, sebagaimana Dia menbenci kemaksiatan kepada-Nya.”
Keringan (rukshah) itu mesti dilakukan dan kemudahan yang diberikan oleh Allah swt harus dipilih apabila ada kondisi yang memungkinkannya untuk melakukan itu misalnya karena tubuh yang sangat lemah, sakit, tua atau ketikan menghadapi kesulitan dan lain-lain alasan yang dapat diterima.
Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari.”
Rasulullah saw sangat mengecam orang yang memberatkan kepada manusia, tidak memperhatikan kondisi mereka yang berbeda-beda sebagaimana dilakukan oleh sebagian sahabat yang menjadi imam shalat jamaah orang ramai. Mereka memanjangkan bacaan di dalam shalat, sehingga sebagian ma’mum mengadukan hal itu kepada Rasulullah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari nabi saw bersabda,” Sesungguhnya agama ini mudah dan orang yang mengambil yang berat-berat dari agama ini pasti akan dikalahkan olehnya. Ambillah tindakan yang benar, dekatkan diri kepada Allah, berilah kabar gembira dan mohonlah pertolongan kepada-Nya pada pagi dan petang hari dan juga pada akhir malam.” Maksud perkataan Rasulullah saw “kecuali dia akan dikalahkan olehnya” ialah bahwa orang itu akan dikalahkan oleh agama dan orang yang mengambil hal-hal yang berat itu tidak akan mampu melaksanakan semua yang pada agama ini karena terlalu banyak jalan yang harus dilaluinya.

Pengakuan terhadap kondisi darurat
Diantara kemudahan yang sangat dianjurkan ialah mengakui kondisi darurat yang muncul dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat individual maupun social. Syariat agama ini telah menetapkan hokum yang khusus untuk menghadapi kondisi darurat; yang membolehkan kita melakukan sesuatu yang biasanya dilarang dalam kondisi biasa dalam hal makanan, minuman, pakaian, perjanjian dan muamalah. Lebih daripada itu, syariat agama kita juga menurunkan ketetapan hokum dalam kasus tertentu dan pada masa-masa tertentu yang berlaku bagi orang khusus maupun orang awam yang sama dengan hokum darurat, demi memudahkan umat dan untuk menghindarkan mereka dari kesulitan. Yang menjadi dasar bagi hal itu ialah penjelasan yang terdapat di dalam al-Quran setelah menyebutkan tentang makanan yang diharamkan pada empat tempat di dalam al-Quran, yang menyatakan bahwa tidak berdosa orang-orang yang dalam keadaan terpaksa untuk memakan makanan tersebut :
“…Tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (al-Baqarah : 173)
Selain itu, terdapat juga penjelasan dari sunnah nabi saw yang memperbolehkan penggunaan sutera bagi kaum lelaki setelah beliau mengharamkannya untuk mereka. Yaitu riwayat yang mengatakan bahwasanya Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwam sama-sama mengadukan hal mereka kepada nabi saw bahwa mereka terserang penyakit gatal, kemudian Rasulullah saw mengizinkan mereka untuk memakai pakaian terbuat dari sutera karena adanya kasus tersebut.

Mengubah fatwa karena perubahan waktu dan tempat
Pentingnya pengetahuan tentang perubahan kondisi manusia, baik yang terjadi karena perjalanan waktu, perkembangan masyarakat, maupun terjadinya hal-hal yang sifatnya darurat, sehingga para ahli fiqh yang biasanya mengeluarkan fatwa harus mengubah fatwa yang telah lalu disesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, tradisi dan kondisi masyarakatnya berdasarkan petunjuk pada sahabat dan apa yang pernah dilakukan oleh para khulafarasyidin, suri tauladan yang kita disuruh untuk mengambil petunjuk dari “sunnah” mereka dan berpegang teguh kepadanya. Yaitu sunnah yang sesuai dengan sunnah nabi saw dan dapat diterima oleh al-Quran.
Dilakukannya peninjauan kembali terhadap pandangan dan pendapat para ulama terdahulu. Karena boleh jadi, pandangan tersebut hanya sesuai untuk zaman dan kondisi pada masa itu dan tidak sesuai lagi untuk zaman kita sekarang ini yang telah mengalami perbagai pembaruan yang belum pernah terpikirkan oleh generasi terdahulu. Pendapat dan pandangan ulama terdahulu itu bisa jadi membawa kondisi yang tidak baik kepada Islam dan umat Islam, serta menjadi halangan bagi da’wah Islam dan umat Islam serta menjadi halangan bagi da’wah Islam
Peperangan yang disyariatkan oleh Islam pada zaman-zaman dahulu memiliki suatu tujuan yang jelas. Yaitu menyingkirkan penghalang yang bersifat material di tengah jalan da’wah. Para penguasa dan raja-raja pada masa itu membuat penghalang yang sulit ditembus oleh da’wah Islam kepada bangsa mereka dan oleh karena itu Rasulullah saw mengirimkan surat-suratnya kepada mereka untuk mengajak mereka masuk Islam, dan menimpakan dosa serta tanggung jawab kesesatan umat mereka di pundak mereka karena mereka sengaja menghalangi bangsa mereka untuk mendengarkan segala suara dari luar karena raja-raja itu khawatir bahwa suara itu akan menbangunkan keterlenaan mereka, membangkitkan hati nurani mereka, sehingga mereka terjaga dari tidur panjang mereka, kemudian memberontak terhadap kezaliman yang dilakukan oleh raja-raja mereka. Oleh karena itu, kita menemukan para raja itu membunuh para juru da’wah atau segera memerangi kaum muslimin, menghalangi dan mengacaukan kehidupan mereka yang tenang.

Menjaga sunnah pentahapan (marhalah) dalam da’wah
Menjaga sunnah pentahapan dalam melakukan da’wah, sebagaimana yang berlaku dalam sunnatullah pada makhluk-Nya dan pada perintah-Nya dan juga yang berlaku di dalam penetapan hokum Islam yang berkaitan dengan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya serta pengharaman hal-hal yang diharamkan contoh paling jelas yakni pengharaman khamar yang penetapan hukumnya dilakukan secara bertahap.
Pendirian masyarakat Islam akan terwujud melalui usaha secara bertahap yakni dengan mempersiapkan rancangan pemikiran, kejiwaan, moralitas dan masyarakat itu sendiri serta menciptakan hokum alternatif sebagai ganti hokum lama yang berlaku pada kondisi tidak benar yang telah berlangsung lama. Pentahapan ini tidak berati hanya sekedar mengulur-ulur dan menunda pelaksanaannya serta mempergunakan pentahapan sebagai ‘racun’ untuk mematikan pemikiran masyarakat yang terus-menerus hendak menjalankan hokum Allah dan menerapkan syariat-Nya, tetapi pentahapan di sini adalah penetapan tujuan, pembuatan perencanaan dan periodisasi dengan penuh kesadaran di mana setiap periode merupakan landasan bagi berikutnya secara terencana dan teratur sehingga perjalanan itu dapat sampai kepada tujuan akhirnya yaitu berdirinya masyarakat Islam yang menyeluruh. Begitulah metode yang dilakukan oleh Nabi saw untuk mengubah kehidupan masyarakat jahiliyah kepada kehidupan masyarakat Islam, sebagaimana yang telah kita jelaskan
Khalifah yang bijak ingin menyelesaikan perbagai persoalan umat manusia dengan bijak dan bertahap, berdasarkan petunjuk sunnah Allah swt ketika Dia mengharamkan khmr. Dia menurunkan kebenaran sedikit demi sedikit, kemudian membawa jalan hidup kepada mereka selangkah demi selangkah.

Meluruskan budaya kaum muslimin
Mendidik pemahaman ajaran agama terhadap kaum muslimin ialah memberikan pengetahuan kepada mereka apa yang patut mereka kerjakan terlebih dahulu dan apa yang mesti mereka akhirkan, serta apa yang seharusnya disingkirkan dari budaya kaum muslimin.
Ilmu fiqh sudah masanya dipermudah bagi umat manusia dengan penampilan yang baru dengan penekanan terhadapa kepentingan manusia pada abad ini yang mencakup pembahasan tentang perseroan, tranksaksi, perbankan, perjanjian-perjanjian modern, hubungan internasional dan penerjemahan ukuran nilai mata uang, takaran, timbangan, ukuran panjang yang lama kepada bahasa modern. Disamping itu, kita mesti memperhatikan peradaban yang hendak kita berikan kepada kaum muslimin dan pentingnya menciptakan variasi terhadap peradaban tersebut. Dan harus dibedakan peradaban yang diberikan kepada orang yang terdidik dan masyarakat awam yang terdiri atas para buruh, petani dan lain-lain.
Orang-orang sibuk terhadap masalah-masalah khilafiyah antara satu mazhab dengan mazhab yang lain atau menyulut pertarungan bersama gerakan tasawuf atau perbagai kelompok tasawuf dengan berbagai persoalannya yang termasuk sunnah dan bid’ah yang betul dan menyimpang. Kita mesti membuat prioritas terhadap masalah ini dan tidak boleh membuat generalisasi dalam hokum-hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Ukuran yang benar: perhatian terhadap isu-isu yang disorot terhadap isu-isu yang disorot oleh al-Quran.
Umat Islam selayaknya mengetahui apa yang sangat diperdulikan oleh al-Quran dan sering diulang-ulang di dalam surat dan ayat-ayatnya dan apa pula yang ditegaskan dalam perintah dan larangannya, janji dan ancamannya. Itulah yang harus diprioritaskan, didahulukan dan diberi perhatian oleh pemikiran. Tingkah laku. Penilaian dan penghargaan kita yaitu seperti keimanan kepada Allah swt kepada para nabi-Nya, hari akhirat, pahala dan siksaan, surga dan neraka.
Dan juga pokok-pokok keutamaan, akhlak yang mulia, sifat-sifat yang baik, kejujuran, kebenaran, kesederhanaan, ketulusan, kelembutan, rasa malu, rendah hati, pemurah, rendah hati terhadap orang-orang yang beriman dan berbesar hati menghadapi orang kafir, mengasihi orang yang lemah, berbuat baik terhadap kedua orangtua, silaturahim, menghormati tetangga, memelihara orang miskin, anak yatim dan orang yang sedang dalam perjalanan.

Prioritas amal yang kontinyu atas amal yang terputus-putus
Diantara ukurannya amal yang baik ialah bahwa jenis pekerjaan ini harus pekerjaan yang langgeng (kontinyu) di mana pelakunya terus-menerus melakukannya dengan penuh disiplin sehingga perbuatan seperti ini sama sekali berbeda tingkat dengan perbuatan yang dilakukan sekali-kali dalam suatu waktu tertentu. Sehubungan dengan hal ini dikatakan dalam sebuah hadis shahih :
“ Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang paling langgeng walaupun sedikit.”
Melakukan ketaatan secara terus-menerus sehingga banyak berkah yang diperoleh akan berbeda dengan amalan yang banyak tetapi memberatkan dan boleh jadi amalan yang sedikit tapi langgeng akan tumbuh sehingga mengalahkan amalan yang banyak yang dilakukan dalam satu waktu sehingga terdapat satu peribahasa yang sangat terkenal di kalangan masyarakat,” Sesungguhnya sesuatu yang sedikit tapi terus berlangsung adalah lebih baik daripada amalan yang banyak tapi terputus.” Itulah yang membuat nabi saw memperingatkan orang-orang yang terlalu berlebihan dalam menjalankan agamanya dan sangat kaku karena sesungguhnya nabi saw khawatir bahwa orang itu akan bosan dan kekuatannya menjadi lemah sebab pada umumnya begitulah pada diri manusia. Dia akan putus ditengah jalan. Ia menjadi orang yang tidak jalan dan juga tidak berhenti.



Prioritas amalan yang luas manfaatnya atas perbuatan yang kurang bermanfaat
Prioritas yang sebaiknya diterapkan dalam pekerjaan manusia adalah prioritas terhadap perbuatan yang banyak mendatangkan manfaat kepada orang lain sebesar manfaat yang dirasakan kepada orang lain, sebesar itu pula keutamaan dan pahalanya di sisi Allah swt. Oleh sebab itu, jenis perbuatan jihad adalah lebih afdal daripada ibadah haji, karena manfaat ibadah haji hanya dirasakan pelakunya, sedangkan sedangkan manfaat jihad dirasakan oleh umat. Atas dasar itulah dalam beberapa hadis ilmu pengetahuan dianggap lebih utama daripada ibadah, karena manfaat ibadah hanya kembali kepada pelakunya sedangkan manfaat ilmu pengetahuan adalah untuk manusia yang lebih luas.
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Orang yang paling dicintai oleh Allah swt adalah orang yang paling berguna di antara mereka. Dan perbuatan yang paling dicintai oleh Allah ialah kegembiraan yang dimasukkan ke dalam diri orang muslim atau menyingkirkan kegelisahan dari diri mereka atau membayarkan hutangnya atau menghilangkan rasa laparnya dan sungguh aku berjalan bersama saudaraku sesama muslim untuk suatu keperluan (da’wah) adalah lebih aku cintai daripada beritikaf di masjid selama satu bulan.”
Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada ibadah orang lain selama sepuluh tahun karena dalam satu hari kadangkala pemimpin itu mengeluarkan berbagai keputusan yang menyelamatkan beribu-ribu bahkan berjuta orang yang dizalimi, mengembalikan hak yang hilang kepada pemiliknya, mengembalikan senyuman ke bibir orang yang tidak mampu tersenyum. Selain itu dia juga mengeluarkan keputusan yang dapat memotong jalan orang-orang yang berbuat jahat dan mengembalikan mereka kepada asalnya atau membuka pintu petunjuk dan tobat.

Prioritas terhadap amal perbuatan yang lebih lama manfaatnya dan lebih langgeng kesannya
Manfaat suatu pekerjaan lebih luas jangkauannya, maka hal itu lebih dikehendaki dan diutamakan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Begitu pula halnya dengan pekerjaan yang lebih lama dan kekal pengaruhnya. Setiap kali suatu perbuatan manfaat suatu pekerjaan lebih luas jangkauannya, itu lebih lama manfaatnya maka pekerjaan itu lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah swt. Oleh karena itu, shadaqah yang lama manfaatnya lebih diutamakan.
Hadis yang menjelaskan contoh shadaqah jariyah ini sebanyak tujuh macam. Yaitu dalam sabda nabi saw, “ sesungguhnya amalan dan perbuatan baik yang akan menyusul seorang mu’min setelah dia meninggal dunia kelak ialah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak shaleh yang dia tinggalkan, mushaf al-Quran yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah tempat singgah musafir yang dia bangun, sungai yang dia alirkan dan shadaqah yang dia keluarkan ketika dia sehat dan masih hidup. Semua ini akan menyusul dirinya ketika dia meninggal dunia kelak.

Prioritas beramal pada zaman fitnah
Prioritas yang sangat dianjurkan ialah tetap bekerja pada saat terjadinya fitnah, cobaan dan ujian yang sedang menimpa umat, amal shaleh merupakan dalil kekuatan beragama seseorang dan keteguhannya dalam berkeyakinan dan memegang kebenaran keperluan untuk melakukan amal shaleh pada masa seperti ini lebih ditekankan daripada masa-masa yang lain. Dalam sebuah hadis disebutkan “Orang mumin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mumin yang lemah.”
Rasulullah bersabda,” Seutama-utama orang yang mati syahid di barisan yang paling pertama dengan tidak memalingkan wajah mereka sama sekali hingga terbunuh. Mereka itu berguling-guling di kamar-kamar utama di surga. Rabbmu tersenyum kepada mereka. Jika Rabb-mu tersenyum kepada seorang hamba di suatu tempat, maka tiada hisab (perhitungan) lagi atasnya.”

Prioritas amalan hati atas amalan anggota badan
Sesungguhnya amalah yang lahiriah itu tidak akan diterima oleh Allah swt selama tidak disertai dengan amalan batin yang merupakan dasar bagi diterimanya amalan lahiriah yaitu niat, sebagaimana disabdakan oleh nabi saw : “Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat.” Arti niat ini ialah niat yang terlepas dari cinta diri dan dunia. Niat yang murni untuk Allah swt. Dia tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni untuk-Nya sebagaimana difirmankan-Nya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus...”(al-Bayyinah : 5) Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya.”
Nabi saw menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat pandangan Allah dan perbuatan yang dilakukan oleh hatilah yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan menerima amalnya dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana oleh baginda, “sesungguhnya Allah swt tidak melihat kepada tubuh bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.”
Cinta kepada Allah dan Rasulullah, serta cinta kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh merupakan cara pendekatan yang paling baik kepada Allah swt walaupun tidak disertai dengan tambahan shalat, puasa dan shadaqah. Hal ini tidak lain adalah karena cinta yang murni merupakan salah satu amalan hati, yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT.
Atas dasar itulah beberapa ulama besar berkata,
"Aku cinta kepada orang-orang shaleh walaupun aku tidak termasuk golongan mereka."
"Aku berharap hahwa aku bisa mendapatkan syafaat (ilmu, dan kebaikan) dari mereka."
"Aku tidak suka terhadap barang-barang maksiat, walaupun aku sama maksiatnya dengan barang-barang itu. " Cinta kepada Allah, benci karena Allah merupakan salah satu bagian dari iman, dan keduanya merupakan amalan hati manusia.


Perbedaan tingkat keutamaan sesuai dengan tingkat perbedaan waktu, tempat dan keadaan
Pertama, kelompok yang memandang bahwa ibadah yang paling bermanfaat dan paling afdhal adalah ibadah yang sukar dan sulit untuk dilaksanakan. Mereka berkata,”karena sesungguhnya hal itu merupakan sesuatu yang paling jauh dari hawa nafsu, sekaligus merupakan hakikat penghambaan.” Mereka berkata,” pahala yang kita terima tergantung kepada tingkat kesulitan yang kita lakukan.” Mereka meriwayatkan hadis yang tidak ada dasarnya:”amal ibadah yang paling afdhal ialah yang paling sulit dan sukar dilakukan.”
Kedua, mereka yang mengatakan bahwa ibadah yang paling utama ialah melepaskan diri dan menjauhi dunia, mempersedikit kepentingan kita terhadapnya dan tidak memberikan perhatian kepadanya. Mereka memandang bahwa zuhud di dunia merupakan tujuan dan inti ibadah. Kelompok khusus yang melihat bahwa perkara ini merupakan tujuan antara, untuk mencapai tujuan yang lebih jauh yaitu ketenangan hati terhadap Allah swt menumpukan segala perhatian dan mengosongkan hati untuk mencintai dan menyerahkan diri kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya dan menyibukkan diri untuk mencari keridhaan-Nya. Mereka memandang ibadah yang paling utama ialah berzikir dengan hati dan lisan, serta menyibukkan diri untuk selalu mengingat-Nya tanpa mempedulikan perbedaan dalam hati.
Kelompok ketiga yang melihat bahwa ibadah yang paling bermanfaat ialah ibadah yang sangat banyak manfaatnya. Mereka memandang bahwa ibadah ini lebih utama daripada ibadah yang sedikit manfaatnya. Mereka melihat bahwa berkhidmat terhadap fakir miskin, menyibukkan diri untuk kemaslahatan manusia dan memenuhi hajat keperluan mereka, memberikan bantuan harta dan tenaga merupakan ibadah yang paling utama
Orang yang disebut sebagai ahli ibadah yang mutlak ialah yang tidak mempunyai tujuan dalam ibadahnya kecuali hanya mencari keridhaan Allah swt di manapun dia berada walaupun dia harus mendahulukan urusan yang lainnya, dia akan memusatkan perhatiannya kepada amalan yang sedang dihadapinya di manapun dia berada sampai tampak ada tingkatan yang lain lebih tinggi. Dia terus meningkat sehingga berakhir perjalanan akhir hidupnya.

Prioritas perkara pokok atas perkara cabang
Memberikan prioritas kepada perkara pokok atas cabang yaitu mendahulukan perkara-perkara pokok, mendahulukan hal-hal yang berkaitan dengan iman dan tauhid kepada Allah, iman kepada para malaikatNya, kitab-kitab suci-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir.
Perkara yang paling utama untuk didahulukan dan harus diberi perhatian yang lebih daripada yang lainnya adalah meluruskan aqidah, memurnikan tauhid, memberantas kemusyrikan dan khurafat, mengokohkan benih-benih keimanan dalam hati sehingga membuahkan hasil yang bisa dinikmati dengan izin dari tuhannya, yang akhirnya kalimat tauhid “laa ilaaha illa Allah”. Dapat bersemayam di dalam jiwa, menjadi cahaya hidup, menerangi gelapnya pemikiran manusia dan kegelapan perilakunya. Semakin besarnya pancaran cahaya kalimat itu di dalam hati manusia, maka ia akan membakar segala bentuk syubhat dan hawa nafsu sesuai dengan kekuatannya. Sehingga kadar pembakaran itu sampai kepada tingkat pembersihan yang sangat sempurna terhadap subhat dan syahwat yang pada akhirnya tidak ada dosa kecuali dosa itu akan dibakar olehnya. Itulah keadaan orang yang tauhidnya benar, yang tidak mempersekutukan sesuatupum dengan Allah swt.

Prioritas fardu atas sunnah dan nawafil
Mendahulukan hal yang paling wajib atas hal yang wajib, mendahulukan hal yang wajib atas mustahab dan perlu menganggap mudah hal-hal yang sunnah dan mustahab serta harus mengambil berat terhadap hal-hal yang fardu dan wajib. Kita mesti menekankan lebih banyak terhadap perkara-perkara fardu yang mendasar perkara yang lainnya, khususnya salat dan zakat yang merupakan dua macam fardhu yang sangat mendasar yang selalu digandengkan penyebutannya di dalam al-Quran pada dua puluh delapan tempat.
Diriwayatkan dari Abu ayyub r.a., ia berkata bahwa ada seorang lelaki datang kepada nabi saw kemudian dia berkata kepada nabi saw, “beritahukanlah kepadaku amalah yang dapat membuatku masuk surga.” Nabi saw bersabda, “ sembahlah Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu selain Dia, dirikanlah salat dan bayar zakat dan jalinlah silaturahim.”
Para fuqaha Islam telah menetapkan bahwasanya Allah swt tidak menerima ibadah yang sunnah sampai ibadah yang fardu telah dilaksanakan. Manusia tidak akan sempurna kemuliaannya selama dia belum melakukan kewajiban-kewajiban dalam ibadahnya. Oleh karena itu, melaksanakan kewajiban dalam ibadah merupakan sesuatu yang adil, sedangkan melaksanakan kemuliaan merupakan sesuatu yang hukumnya sunnah. Perbuatan yang sunnah tidak akan diterima oleh Allah swt dari orang yang mengabaikan hal-hal yang wajib dan orang yang meninggalkan kewajiban tidak dianjurkan untuk mencari keutamaan dan kelebihan, karena mencari kelebihan tidak dibenarkan kecuali setelah seseorang melakukan keadilan.

Prioritas fardu ‘ain atas fardhu kifayah
Perkara fardhu mesti didahulukan atas perkara yang hukumnya sunnah, tetapi perkara-perkara yang fardu itu sendiri memiliki berbagai tingkatan. Fardhu ain harus didahulukan atas fardu kifayah. Karena fardhu kifayah kadangkala sudah ada orang yang melakukannya. Sedangkan fardu ain tidak dapat ditawar lagi, karena tidak ada orang lain yang boleh menggantikan kewajiban yang telah ditetapkan atas dirinya.
Contoh yang paling jelas untuk itu ialah perkara yang ada kaitannya dengan berbuat baik terhadap orang tua dan berperang membela agama Allah, ketika perang merupakan fardhu kifayah, karena peperangan untuk merebut suatu wilayah sendiri yaitu peperangan untuk merebut wilayah yang diduduki oleh musuh. Kita harus melakukan peperangan ketika tampak tanda-tanda musuh mengintai kita dan hendak merebut wilayah yang lebih luas. Dalam peperangan seperti ini, berbakti kepada kedua orangtua dan berkhidmat kepadanya adalah lebih wajin daripada bergabung kepada pasukan tentara untuk berperang, dan inilah yang diingatkan oleh Rasulullah saw. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash r.a bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada nabi saw. Dia meminta izin untuk ikut berperang. Maka Rasulullah saw bertanya kepadanya,” Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” Dia menjawab, “Ya.”Rasulullah saw bersabda, “Berjuanglah untuk kepentingan mereka.”

Prioritas hak hamba atas hak Allah semata-mata
Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi dan berbeda dengan fardu ain yang berkata, “sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat.
Ibadah haji misalnya yang hukumnya wajib dan membayar utang yang hukumnya juga wajib maka yang harus didahulukan ialah kewajiban membayar utang. Orang Islam yang mempunyai utang tidak boleh mendahulukan ibadah haji sampai dia membayar utangnya kecuali bila dia meminta izin kepada orang yang mempunyai piutang atau dia meminta pembayaran itu ditunda dan dia meyakinkannya bahwa dia mampu membayar utang itu ditunda dan dia meyakinkannya bahwa dia mampu membayar utang itu tepat pada waktunya.
Ada lagi seorang lelaki yang terbunuh pada perang khaibar. Maka para sahabat memberitahukan kejadian itu kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda,”shalatlah atas sahabat kamu.” Maka berubahlah wajah semua yang ada disitu, kemudian beliau bersabda, “sesungguhnya kawan kamu telah mengambil sesuatu ketika berjuang di jalan Allah.” Kemudian para sahabat memeriksa barang-barang lelaki itu, ternyata mereka menemukan permata orang yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham. Hanya karena sesuatu yang tidak sampai dua dirham harganya, nabi saw menolak untuk shalat atas orang itu, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi mereka bahwa beliau sangat tidak suka terhadap kerakusan terhadap barang milik orang banyak, baik yang nilainya sedikit maupun banyak, menunjukkan betapa besar hak orang lain apa lagi untuk perkara yang berkaitan dengan harta benda, baik milik perseorangan atau milik umum. Seseorang tidak boleh mengambil hak orang lain dengan cara seseorang tidak boleh mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak halal.

Prioritas hak masyarakat atas hak individu
Kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Oleh karena itu, para ulama menetapkan apabila terjadi pertentangan antara kewajiban berperang yang hukumnya fardhu kifayah dengan berbakti kepada orangtua, maka berbakti kepada orangtua, maka berbakti kepada orangtua harus didahulukan namun apabila perang berubah hukumnya menjadi fardhu ain yaitu apabila orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, maka perang diwajibkan atas semua penduduk Negara untuk mempertahankan Negara mereka. Jika ada bapak atau ibu karena alasan-alasan emosional, menolak keikutsertaan anaknya dalam perang mempertahankan Negara maka sesungguhnya penolakan itu tidak dibenarkan oleh agama.
Imam al-Ghazali dan lainnya membolehkan penembakan terhadap kaum muslimin apabila mereka dijadikan sebagai benteng musuh (yaitu apabila mereka dipergunakan sebagai benteng musuh yang diletakkan pada barisan terdepan) dengan syarat-syarat tertentu padahal tidak diperselisihkan lagi bahwa menjaga pertumpahan darah kaum muslimin adalah wajib dan kita tidak boleh menumpahkan darah mereka dengan cara yang tidak benar. Al-Ghazali dan ulama yang sepakat dengan pendapatnya membolehkan hal itu adalah untuk melindungi orang banyak, menjaga umat dari kehancuran, karena sesungguhnya individu dapat diganti sedangkan umat tidak akan ada gantinya.

Prioritas wala’ (loyalitas) kepada umat atas wala’ terhadap kabilah dan individu
Nabi saw yang menganjurkan kepada kita untuk mendahulukan wala’ kepada jamaah serta memberikan ikatan emosional terhadap umat daripada memberikan wala’ kepada kelompok dan keluarga. Sesungguhnya dalam Islam tidak ada individualisme, fanatisme kelompok dan pemisahan dari jamaah Islam.
Rasulullah saw memakai sebagian ungkapan yang pernah dipergunakan pada zaman jahiliyah dan memberi muatan makna yang baru pada ungkapan itu, yang belum pernah dilakukan oleh seseorang sebelumnya. Rasulullah saw bersabda, “tolonglah saudara, baik dia zhalim atau dizhalimi.” Para sahabat kemudian berkata, “wahai Rasulullah, kita boleh menolong kalau dia dizhalimi, lalu bagaimana mungkin kami memberikan pertolongan kalau dia berlaku zhalim?” Rasulullah saw bersabda,”cegahlah dia untuk tidak melakukan kezhaliman, karena sesungguhnya hal itu merupakan pertolongan baginya. Dengan cara seperi itu benarlah konsep pemberian bantuan terhadap orang yang zhalim, sehingga yang perlu ditolong ialah hawa nafsunya, menyingkirkan setannya dan kita perlu menggandeng tangannya sehingga dia tidak jatuh ke jurang kezhaliman yang menjadi malapetaka di dunia dan kegelapan di akhirat kelak.
Sabda Rasulullah saw, “Berjamaah itu adalah berkah dan berpecah-belah adalah azab. “ dan “ Hendaklah kamu hidup berjamaah dan janganlah kamu hidup berpecah belah karena sesungguhnya setan akan bersama orang yang sendirian dan dia akan berada lebih jauh dari dua orang. Barangsiapa yang ingin merasakan hembusan angin surga, maka hendaklah dia melazimkan hidup berjamaah.”

Prioritas dalam perkara yang dilarang
Dizaman jahiliyah, dahulu mereka percaya tentang adanya tuhan yang menciptakan langit, bumi dan manusia serta yang memberikan rizqi, kehidupan serta yang memberikan riqki, kehidupan dan kematian kepada mereka. Akan tetapi, disamping itu yang disebut dengan tauhid rububiyyah, mereka juga mempersekutukan Allah yang disebut dengan tauhid ilahiyah, dengan menyembah tuhan-tuhan yang lain, baik yang di bumi maupun yang berada di langit. Allah berfirman : “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka ‘siapakah yang menciptakan langit dan bumi?,’niscaya mereka akan menjawab:”semuanya diciptakan oleh yang maha perkasa lagi maha mengetahui.”(az-Zukhruf:9) “dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka.’siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Dan tentu mereka akan menjawab:”Allah”.(al-Ankabut : 61)
Mereka percaya kepada adanya pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta. Akan tetapi mereka masih menyembah tuhan-tuhan yang lain berupa pohon, batu, barang tambang dan lain-lain, dengan mengatakan :”…kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya…”(az-Zumar : 3)
Allah berfirman :”Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu maka putuskanlah perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…”(al-Maidah : 48)
Di antara ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw ialah membenarkan konsep ketuhanan, karena banyak sekali penyelewengan yang telah mereka lakukan terhadap ajaran kitab suci dan keyakinan mereka. Sehingga penyelewengan itu membuat keruh ajaran yang tadinya jernih dan mengeluarkan mereka dari kemurnian tauhid yang dibawa oleh Ibrahim, bapak para nabi. Kitab taurat mereka beri muatan makna inkarnasi dan penyerupaan Allah dengan seseorang dari mereka sehingga Allah dianggap sebagai salah seorang dari kalangan manusia yang mempunyai rasa takut, iri hati, cemburu dan juga bertengkar dengan manusia dan dikalahkan olehnya sebagaimana yang dilakukan oleh bani israil…

Membedakan antara kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang besar dan yang kecil
Kekufuran yang paling besar adalah kekufuran terhadap Allah swt dan Rasul-Nya atau kekufuran terhadap kerasulan Muhammad saw sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh orang yahudi dan nasrani. Mereka dikategorikan sebagai orang-orang kafir. Kekufuran yang kecil ialah kekufuran yang berbentuk kemaksiatan terhadap agama ini, misalnya orang yang sengaja meninggalkan shalat karena malas, dengan tidak mengingkari dan tidak mencelanya.
Kemusyrikan yang berati mempersekutukan sesuatu dengan Allah swt. Mencintai sesuatu sebagaimana dia mencintai Allah swt. Mencintai sesuatu sebagaimana dia memncintai Allah swt. Inilah kemusyrikan yang setara dengan kemusyrikan karena menyamakan tuhan-tuhan orang musyrik dengan tuhan alam semesta. Dan oleh karena itu, mereka berkata kepada tuhan-tuhan orang musyrik dengan tuhan alam semesta. Ibn al-Qayyim berkata,”sedangkan kemusyrikan kecil adalah seperti riya, memamerkan diri kepada makhluk Allah, bersumpah dengan selain Allah.
Kemunafikan besar adalah kemunafikan yang berkaitan dengan aqidah yang mengharuskan pelakunnya tetap tinggal selama-lamanya di dalam neraka. Bentuknya ialah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan Islam. Sedangkan kemunafikan kecil ialah kemunafikan dalam perbuatan dan perilaku yaitu orang yang berperilaku seperti orang-orang yang munafiq, meniti jalan yang dilalui oleh mereka, walaupun orang-orang ini sebenarnya memiliki aqidah yang benar.
Umar r.a. pernah memperingatkan adanya orang munafiq yang cerdik pandai, sehingga ada orang yang bertanya, “bagaimana mungkin ada orang munafiq yang pandai?” dia menjawab” pandai lidahnya, tetapi bodoh hatinya.”



Kemaksiatan besar yang dilakukan oleh hati manusia
Amalan yang dilakukan oleh hati manusia adalah lebih besar dan lebih utama daripada amalan yang dilakukan oleh anggota tubuhnya. Begitu pula halnya kemaksiatan yang dilakukan oleh hati manusia juga lebih besar dosanya dan lebih besar bahayanya. Perbedaan antara kedua bentuk kemaksiatan tersebut ialah bahwa kemaksiatan adam adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota badan yang tampak, kemudian dia segera bertobat. Sedangkan kemaksiatan iblis adalah kemaksiatan dalam hati yang tidak tampak yang sudah barang tentu akan diberi balasan yang sangat buruk oleh Allah swt. Kebanyakaan kemaksiatan dalam hati itu adalah pendorong kepada kemaksiatan besar yang dilakukan oleh anggota tubuh kita yang tampak dalam bentuk meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah atau melakukan segala larangannya.
Rasulullah saw mengatakan bahwa kedengkian dan kebencian merupakan salah satu penyakit umat yang sangat berbahaya dan sangat mempengaruhi agamanya. Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya umat sebelum kamu telah binasa karena kekikiran ini. Kekikiran itu menyuruh memutuskan silaturahmi, maka mereka memutuskan, kekikiran itu menyuruh bakhil, maka mereka bakhil, kekikiran itu menyuruh berbuat keji, maka mereka berbuat keji. Al-Quran menjelaskan bahwa mengikuti hawa nafsu itu akan membuat seseorang buta dan tuli dan tersesat tidak mengetahui apa-apa, hatinya tertutup, sehingga dia tidak dapat melihat, mendengar dan menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar dirinya.
Perkara yang dapat membinasakan manusia adalah berbangga diri sendiri. Sesungguhnya orang yang berbangga terhadap dirinya tidak akan melihat aib yang ada pada dirinya walaupun aib itu sangat besar, tetapi dia dapat melihat kelebihan dan kebaikan dirinya sebagaimana miskroskop yang dapat memperbesar hal-hal yang kecil dalam dirinya. Di antara kemaksiatan hati yang dianggap besar ialah riya, yang menyebabkan batalnya dan tidak diterimanya amalan seseorang di sisi Allah swt, walaupun pada lahirnya amalan itu tampak baik dan indah menurut pandangan manusia.
Di antara kemaksiatan hati lainnya yang dianggap besar ialah cinta dunia dan lebih mengutamakannya daripada akhirat hal ini merupakan sebab setiap kesalaha yang dilakukannya. Bahaya yang ditimbulkannya bukan terletak pada pemilikan dunia itu tetapi keinginan dan ketamakan atas dunia dengan segala macam perhiasannya jika ada kesempatan untuk meraih kepentingan dunia dan akhirat, maka orang itu lebih mengutamakan kepentingan yang pertama daripada kepentingan yang kedua. Dan inilah yang menyebabkan kehancurannya di dunia dan di akhirat kelak.
Cinta dunia itu berbentuk cinta harta kekayaan, cinta kehormatan dan kedudukan dengan disertai rasa tamak untuk memperoleh dua jenis kehidupan dunia itu, sehingga orang yang hendak mencarinya mengorbankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupannya asal dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya, sehingga agama dan imannya hilang dari dirinya.
“Jauhilah dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil adalah sama dengan perumpamaan suatu kaum yang turun ke sebuah lembah. Kemudian ada seorang di antara mereka membawa satu batang kayu, lalu ada lagi orang lain yang membawa sebatang kayu lagi, sampai batang kayu itu dapat dipergunakan untuk memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu bila dilakukan secara terus-menerus, dapat membinasakan orang yang melakukannya.”

Bid’ah dalam agama
Bid’ah yaitu sesuatu yang diada-adakan oleh manusia dalam urusan agama. Baik bid’ah yang berkaitan dengan aqidah yang dinamakan dengan bid’ah ucapan, maupun bid’ah yang berkaitan dengan amalan.
Dalam sebuah hadis disebutkan :
“Jauhilah, hal-hal baru dalam urusan agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah kesesatan.”
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami, dan ia tidak ada dalam ajaran kami maka sesuatu itu tidak diterima.”
Bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan, karena hal itu bertentangan dengan ajaran agama. Di samping itu, orang yang melakukan bid’ah tidak merasa perlu bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Bahkan dia malah mengajak orang lain untuk menjalankan bid’ah itu bersama-sama. Seluruh isi bid’ah itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bid’ah menolak semua ajaran agama yang dibenarkan, ia memberi dukungan kepada orang yang memusuhi agama dan memusuhi orang yang mendukung agama ini, isi bid’ah itu bertentangan dengan apa yang menetapkan apa yang di-nafi-kan oleh agama dan menafi-kan apa yang telah ditetapkan oleh agama.

Syubhat
Syubhat adalah perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, berati dia telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya dan barangsiapa yang terjerumus ke dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti pengembala yang menggembala ternaknya di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang ternaknya memakan rumput di sana.”
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah sesungguhnya nabi saw pernah ditanya, “Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya ataukah tidak.” Maka nabi saw bersabda, “sebutlah nama Allah dan makanlah.”
Pada suatu hari Rasulullah saw pernah menyambut undangan seorang yahudi. Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah tidak. Nabi saw dan para sahabatnya mengenakan pakaian dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang kafir dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum muslimin berperang, mereka juga membagi-bagikan wadah, pakaian, kemudian mereka pakai semuanya.

Makruh
Perkara makruh yaitu makruh tanzihi, sebagaimana diketahui, makruh ini ada dua macam; makruh tahrimi dan makruh tanzihi. Makruh tahrimi ialah perkara makruh yang lebih dekat kepada haram sedangkan makruh tanzihi ialah yang lebih dekat kepada halal.
Perkara makruh ini seperti makruhnya orang yang makan sambil bersandar, minum dari bawah bejana air, meniup minuman, beristinja’ dengan tangan kanan, memegang farji dengan tangan kanan tanpa adanya uzur, berjalan dengan satu sandal, bertengkar di masjid dan mengangkat suara didalamnya, berbisik di masjid pada hari jumat ketika imam sedang berkhotbah, membesar-besarkan suara ketika berbicara, mengucapkan doa,’ya Allah ampunilah dosaku kalau engkau mau.”, berbincang-bincang setelah makan malam yang paling akhir, shalat ketika makan malam yang paling akhir, shalat ketika makanan sudah dihidangkan, mengkhususkan hari jumat untuk berpuasa, atau untuk melakukan qiyamul lail.

Memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem
Individu manusia merupakan batu pertama dalam bangunan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang diupayakan untuk membentuk manusia muslim yang benar dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang sempurna harus diberi prioritas atas usaha-usaha yang lain. Karena sesungguhnya usaha pembentukan manusia muslim yang sejati sangat diperlukan bagi segala macam pembinaan dan perbaikan. Itulah pembinaan yang berkaitan dengan diri manusia.
Imam merupakan pembawa keselamatan, dengan iman kita dapat mengubah jati diri manusia dan memperbaiki segi batiniahnya, kita tidak dapat menggiring manusia seperti kita menggiring binatang ternak dan kita tidak dapat membentuknya sebagaimana kita membentuk sebagaimana kita membentuk peralatan rumah tangga yang terbuat dari besi, perak atau bijih tambang yang lainnya.

Pembinaan sebelum jihad
Pendidikan dan pembentukan di sini ialah membina manusia mu’min yang dapat mengemban misi da’wah, bertanggung jawab menyebarkan risalah Islam, tidak kikir terhadap harta benda, tidak sayang kepada jiwanya dalam melakukan perjuangan di jalan Allah. Pada saat yang sama dia merupakan contoh hidup yang dapat menerapkan nilai-nilai agama dalam dirinya orang melihat Islam yang benar-benar hidup.
Tugas utama al-Quran pada periode mekkah ialah menanamkan aqidah, sifat-sifat yang baik, akhlak yang mulia, menanamkan pandangan hidup yang sehat, pemikiran yang benar, menolak keyakinan-keyakinan jahiliyah, sifat-sifat buruk yang merusak pemikiran manusia dan perilakunya serta menjalin hubungan yang kuat antara manusia dan tuhannya dengan jalinan yang tidak dapat dipisahkan.
Imam Ibn al-Qayyim menyebutkan dalam al-Hady al-Nabawi, terdapat tiga belas tingkatan jihad. Empat tingkatan jihad yang berkaitan dengan jihad terhadap hawa nafsu, dua tingkatan jihad terhadap setan, tiga tingkatan jihad kepada pelaku kezaliman, bid’ah, dan kemungkaran dan empat tingkatan lainnya jihad terhadap orang-orang kafir dan jihad dengan hati, lidah dan harta benda. Jihad yang mesti ditempatkan pada urutan yang terakhir ialah jihad dengan jiwa dan tangan kita.” Dia melanjutkan, “karena jihad yang paling utama itu adalah mengatakan sesuatu yang benar di hadapan suasana yang sangat keras seperti mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang ditakutkan siksaannya, maka dalam hal ini Rasulullah saw menduduki tempat jihad yang tertinggi dan paling sempurna.”
Sebagaimana dikatakan oleh nabi saw, “Orang yang sebenarnya berjihad ialah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam meniti ketaatan terhadap Allah. Dan orang yang berhijrah dari apa yang dilarang oleh-Nya.”

Mengapa pembinaan lebih diberi prioritas?
Sikap melepaskan diri dari berbagai dorongan duniawi tidak dapat muncul dengan tiba-tiba, tetap tiba-tiba, tetapi harus melalui pembinaan yang cukup panjang, sehingga dia melakukan ajaran agamanya hanya untuk Allah. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kedudukan dan kemengan oleh Allah sebelum pembinaan mereka “matang” seringkali malah melakukan berbagai kerusakan di muka bumi daripada melakukan perbaikan, kedudukan itu tidak akan dapat terwujudkan kecuali setelah orang yang berhak memperolehnya lulus dari berbagai ujian Allah terhadap hati mereka, sehingga dapat dibedakan antara orang yang buruk hatinya dan orang yang baik hatinya.

Prioritas perjuangan pemikiran
Petarungan pemikiran yakni pelurusan yang menyimpang dan konsep-konsep yang tidak benar harus diberi prioritas dan didahulukan atas perkara yang lain. Hal ini digolongkan sebagai ‘perang besar’ dengan al-Quran sebagai senjatanya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat al-Furqan dan juga tergolong sebagai perang dengan lidah dengan memberikan penjelasan, sebagaimana disebutkan dalam hadis nabi saw, “ Perangilah orang-orang musyrik dengan harta benda jiwa dan lidah kalian.”

Prioritas dalam warisan pemikiran kita
Di antara warisan pemikiran para ulama terdahulu yang dapat kita ikuti sekarang ini adalah mengenai persoalan manakah yang lebih utama bagi seorang muslim pada saat terjadinya fitnah dan menyebarnya kemaksiatan dan kerusakan. Apakah dia harus ikut serta menceburkan masyarakat ataukah berusaha untuk memperbaikinya atau mengucilkan diri dari mereka dan menyelamatkan diri sendiri. Orang-orang sufi, kebanyakan lebih memilih tindakan yang kedua. Sedangkan ulama rabbani dan pejuang lebih mementingkan jalan para nabi. Yakni tetap bergaul dan berusaha memperbaiki mereka dengan penuh kesabaran dalam menerima siksaan yang dilakukan oleh manusia.
Ibn Umar meriwayatkan dari nabi saw, “Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka.”
Al-Nawawi dalam al-Arbainnya dan juga disebutkan dalam Syarh Ibn Rajab dalam jami’nya yaitu : “ Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah dia dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu.” Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa larangan lebih diutamakan daripada perintah, karena sesungguhnya dalam larangan tidak dikenal adanya keringanan (rukhshah) dalam suatu perkara, sedangkan perintah dikaitkan dengan kemampuan orang yang hendak mengerjakannya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad, pendapat ini serupa dengan pendapat sebagian ulama al-Hasan berkata, “Tidak ada sesuatu yang dapat dipersembahkan oleh seorang hamba kepada tuhannya yang lebih baik daripada meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah swt.”




Imam Al-Ghazali dan Fiqh Prioritas
Kelompok yang sangat tamak untuk melaksanakan perkara-perkara yang hukumnya sunnah, tetapi tidak menghiraukan kepada perkara-perkara yang hukumnya fardhu. Anda dapat melihat orang yang termasuk di dalam kelompok ini begitu gembira bila dapat melaksanakan shalat dhuha, shalat malam, dan perkara-perkara sunnah lainnya, tetapi dia tidak pernah merasakan nikmatnya perkara fardhu, serta tidak bersemangat untuk segera melaksanakan perkara ini di awal waktunya. Dia lupa terhadap sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari tuhannya, “Tidak ada sesuatu yang dapat dipergunakan oleh seseorang mendekatkan diri kepada-Ku seperti apa yang fardhukan kepada mereka.”
Mengutamakan orang lain ketimbang pada diri sendiri jaul lebih besar pahala yang akan didapatkan. Bisr berkata,”kalau hendak mencari keridhaan Allah swt maka berilah uang kepada kelompok manusia ini : orang yang berutang agar dia dapat membayar utang-utangnya, orang miskin agar dia dapat bangkit kembali, orang yang menanggung pemeliharaan anggota keluarga yang banyak agar mereka tercukupi keperluannya dan pengasuh anak yatim agar dia dapat menggembirakan mereka. Kalau hatimu kuat, berikanlah uang itu kepada salah satu kelompok tersebut, karena sesungguhnya usahamu untuk menggembirakan hati seorang muslim, memberikan pertolongan orang yang bersedih hati, menyelamatkan orang yang sedang dalam keadaan berbahaya, memberikan bantuan kepada orang yang lemah adalah lebih baik daripada seratus kali haji yang dilakukan haji wajib dalam Islam.

Para ulama yang mempunyai kepedulian terhadap fiqh prioritas
Al-‘Alamah al-Raghib al-Isfahani yang memiliki pemikiran yang cemerlang dalam fiqh prioritas, menurut beliau tentang kesibukan orang-orang terhadap perkara yang sunnah sehingga mereka meninggalkan perkara yang wajib. Dia berkata,” Barangsiapa disibukkan mencari perkara fardhu sehingga dia tidak dapat mencari tambahan (sunnah) dan melalaikan kewajiban, maka sesungguhnya dia tertipu.”
Dan kadang-kadang ada sesuatu perbuatan yang tidak begitu diutamakan tetapi ia dapat menjadi lebih utama ketika dilakukan oleh orang tertentu, karena orang itu tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih utama daripada perbuatan tersebut atau karena kecintaan, kesenangan, perhatian dan faedah yang diperoleh dari sesuatu perbuatan yang tidak begitu diutamakan itu lebih banyak, sehingga perbuatan tersebut menjadi lebih utama baginya, karena adanya peningkatan amalan, kecintaan, kemauan dan manfaat. Yang diperkirakan dapat diperoleh seperti yang terjadi pada orang sakit, yang hanya mau meminum obat kesukaannya dan bermanfaat bagi kesehatannya, tetapi dia tidak mau meminum obat yang tidak disukai, walaupun obat yang terakhir ini dianggap lebih utama.
Seharusnya kita memberikan hak kepada sesuatu yang berhak menerimanya dan memberikan keleluasaan sebagaimana yang diberikan Allah swt dan Rasul-Nya dan merapatkan hati manusia yang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya, menjalin jalinan yang diperintahkan Allah swt dan Rasul-Nya, memelihara yang dicintai oleh Allah swt dan Rasul-Nya, memelihara tujuan-tujuan syariah dan mengajarkan bahwa sebaik-baik ucapan ialah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad saw dan bahwasanya Allah swt telah mengutusnya sebagai rahmat untuk alam semesta, mengutusnya untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat, dalam segala urusan. Ajaran yang bersifat global itu harus dijelaskan rinciannya, sehingga manusia tidak hanya berkeyakinan terhadap perkara yang bersifat global, tidak meyakini rinciannya, baik karena kebodohannya, kezalimannya atau karena mengikuti hawa nafsunya.

Pandangan para pembaru tentang fiqh prioritas
Imam Muhammad bin Abd Al-Wahhab, prioritas dalam da’wah beliau kepada bidang aqidah, untuk menjaga dan melindungi tauhid dari berbagai bentuk kemusyrikan dan khurafat yang telah mencemari sumbernya dan membuat keruh kejernihannya. Dia menulis berbagai buku dan risalah, serta menyebarkan dan mempraktekkannya dalam rangka menghancurkan berbagai fenomena kemusyrikan.
Az-Za’Im Muhammad Ahmad Al-Mahdi, ialah seorang tokoh dari sudan. Prioritas perjuangannya ialah mendidik para pengikutnya bersikap keras dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris dan antek-anteknya.
Sayyid Jamaluddin, prioritas yang ada pada Sayid Jamaluddin al_Afghani ialah membangunkan ummat, dan mengerakkannya untuk mengusir penjajah, yang merupakan bahaya bagi kehidupan agama dan dunianya. Di samping itu, dia menyadarkan mereka bahwa ummat Islam adalah satu, memiliki kiblat, aqidah, arah dan tujuan hidup yang satu pula.
Imam Muhammad Abduh, sangat peduli dengan pembebasan pemikiran kaum muslim dari belenggu taqlid, dan mengaitkannya dengan sumber-seumber Islam yang jernih. Sebagaimana diregaskan dirinya dan tujuan-tujuannya, suaraku lantang dalam melakukan da’wah kepada dua perkara yang besar. Pertama membebaskan pikiran ummat dari belenggu taqlid, dan memahami ajaran agama melalui jalan ulama-ulama salaf sebelum munculnya berbagai pendapat, serta menggali pengetahuan dengan kembali kepada rujukan-rujukan utamanya.
Imam Hasan Al Banna, memberi perhatian yang sangat besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam, ummat Islam dan mengembalikan hal-hal yang telah di buang oleh orang – orang yang ter-barat-kan dan para pengikut sekularisme. Mereka menginginkan aqidah tanpa sya’riah, agama tanpa Negara, kebenaran tanpa kekeuatan, perdamaian - penyerahan diri tanpa perjuangan, teteapi al- Banna, menginginkan Islam sebagai aqidah dan syari’ah, agama dan Negara, kebenaran dan kekuatan, perdamaian dan perjuanagan, al-Qur’an dan pedang.
Imam Al-Maududi, memberikan prioritas perjuangannya dalam memerangi “jahiliyah“ modern, mengembalikan manusia kepada agama dan ibadah dengan maknanya yang komprehensif, tunduk kepada kekuasaan Allah saja, dan menolak segala mahluk-Nya, bagaimanapun kedudukan dan tugas mereka. Baik mereka sebagai pemikir, ataupun sebagai pemegang kendali politik. Dia juga memberikan perhatian kepada pembentukan peradaban Islam yang eksklusif, menolak pemikiran Barat dalam bidang peradaban, ekonomi, politik, kehidupan individu, keluarga dan masyarakat.
As-Syahid Sayid Quthub, memberikan perioritas pada aqidah sebelum terciptanya tatanan hukum Islam dan terwujudnya kekeuasaan Allah di muka bumi. Itulah yang sering dia sebutkan dan sangat ditekankan dalam buku – buku karangannya, khususnya buku al-Zhilal. Sebagian orang menyangka bahwa pemikiran “ kekuasaan “ merupakan pemikiran yang dicetukan oleh Maudui dan Sayid Quthub.Dugaan ini sama sekali tidak benar. Pemikiran ini adalah suatu perkara yang telah disepakati oleh para ahli usul fiqih ketika mereka membahas “ kekuasaan “ yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam menyusul fiqh, yang menyatakan. “ Sesungguhnya penguasa ( penentu hukum ) adalah Allah, tidak ada penentu hukum selain Dia. Dan sesungguhnya Rasulullah SAW yang mulia adalah penyampai hukum tersebut.
Ustadz Muhammad Al – Mubarak, di antara tokoh pembaru Islam yang tergerak hatinya untuk menerapkan fiqh prioritas ialah seorang tokoh pemikir Islam dari Syria yang terkenal. Ia adalah Ustadz Muhammad. “ Ciri khas kesatuan aturan Islam harus disertai dengan kesatuan lain yang tidak kalah pentingnya dengan hal itu, yaitu kesatuan aturan peringkat kerja yang mengatur sebagai sektor kehidupan manusia dan nilainya. Harta kekayaan, kenikmatan, pekerjaan, akal pikiran, pengetahuan, kekuatan, ibadah, kekerabatan, kemanusiaan adalah nilai-nilai kehidupan. Islam menempatkan perkara-perkara diatas pada tempat tertentu dalam tatanan hidup dan tingkatan tertentu yang tidak boleh di langgar oleh manusia sehingga tidak ada nilai yang terabaikan.
Syaikh Al-Ghazalim diantara ulama yang memberikan perhatian besar kepada fiqh prioritas melalui pandangan, pemikiran, dan penjelasan yang diberikannya ialah seorang juru da’wah besar, Syaikh Muhammad al-Ghazali. Ia telah memberikan perhatian yang sangat besar kepada masalah ini dalam buku–buku yang di tulisnya teutama buku–buku yang di tulis menjelang akhir hayatnya. Hal itu ia lakukan dan ia beri perhatian karena pengalamannya dalam melakukan da’wah di tengah-tengah manusia mengaku sebagai orang Islam dan juru da’wah Islam, yang menjungkirbalikan pohon Islam. Mereka menjadikan pohon dan akarnya yang kuat sebagai ranting-ranting yang lemah, dan menjadikan ranting-rantingnya sebagai dedaunan yang menghembuskan angin, dan menjadikan daun-daunnya sebagai akar, yang bertumpu kepadanya seluruh pemikiran, perhatian, dan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar